KH. Abdul Majid bin H.
Tohir Jaim adalah salah satu pemuka agama yang lahir di Kampung Sindangsari,
Desa Sindangsari, Kecamatana Petir, Kabupaten Serang, Provinsi
Banten. Dari hasil
perkawinannya dengan Hj. Suha yang berasal dari Kampung Kapandenan, Kecamatan
Petir, Kabupaten Serang, Provinsi Banten, mereka dikaruniai tiga orang
putra. Yaitu, Abdul Hakim, Ghaosul Alam, dan Emon Mudhofar. Ketiga putranya
ini, selain menjadi ahli hikmat juga merupakan penerus Yayasan Sholatiyah
Kapandean yang didirikan dan dipimpin oleh KH. Abdul Majid.
Setelah Hj. Suha meninggal dunia.
Kemudian KH Abdul Majid menikah dengan Hj. Yuhananah yang lahir pada 1930.
Mereka dikarunia enam orang putra dan putri. Yaitu, Uyun Qurotul Uyun, Ujeh,
Nurul Hidayah, Tajul Fukoha, Ahmad Fauzi, dan Qurotul Mua’yanah sebagai anak terakhir.
Kedua putri dan putranya telah wafat, yaitu Uyun Qurotul Uyun dan Ujeh
meninggal. Dari ke-6 putra-putrinya ini, Ahmad Fauzi Al-Majid (w.2007) yang
meneruskan kepemimpinan Yayasan Sholatiyah.
K.H. Abdul Majid selain menjadi tokoh
masyarakat, ia juga pernah menjabat sebagai pegurus MUI Kewedanaan Banten
(1971), ketika masa Residen KH. Achmad Khotib.
Geneologi
KH. Abdul Majid adalah putra ke-3 dari 4
bersaudara. Ke-3 putra-putrinya adalah, KH. Mukri, Hj. Ijot, dan H. Sidiq.[1] Silsilah
keturunan KH. Abdul Majid dari garis ayahnya adalah KH. Abdul Majid bin H.
Tohir Jaim bin Naskam bin Tb. Buang bin Maulana Yusuf bin Sulthan Maulana
Hasanuddin Banten bin Sultan Maulana Syarif Hidayatullah Cirebon. Sementara
silsilah keturunan istrinya adalah Hj. Yuhananah bin H. Yunus bin Yusa bin KH.
Madali atau masyhur disebut KH. De’eng.[2]
Riwayat Pendidikan
Menurut keterangan narasumber, bahwa KH.
Abdul Majid pernah Sekolah Rakyat (SR) di Kapandean, kemudian melanjutkan
pendidikan ke pesantren. Tidak diketahui lokasi pesantrennya di mana. Kemudian
setelah itu, ia melanjutkan pendidikannya ke Mekah selama 17 tahun. Pada saat
itu ia bersama dengan Abuya Mukri dari Karabohong.
Ketika di Mekah, ada instruksi dari
Presiden Soekarno kepada para santri yang ada di tanah suci untuk pulang ke
tanah air guna membantu TKR dalam melawan tentara Jepang di Serang tahun 41
atau 42 dan tentara belanda (1948). Pada saat mengikuti perang melawan tentara
Jepang dan Belanda KH. Abdul Kabier tertembak, saat itu juga KH. Abdul Majid
segera menyembuhkannya dengan syari’at dedaunan dan ilmu hikmah yang
dimilikinya.
Setelah ia berada di Kampung halaman, ia
mulai memanfaatkan ilmu yang telah ia dapat selama belajar di pesantren dengan
mendirikan pondok pesantren salafi di samping rumahnya. Ilmu yang ia ajarkan di
antaranya adalah fikih, al-qur’an, tauhid, dan ilmu-ilmu lainnya. Adapun santri
yang pernah belajar dengannya di antanya adalah KH. Hamdun dari
Kadomas-Pandeglang, KH. Juned Cisoka, Abuya Yusuf Caringin-Pandeglang, dan
Abuya Astari Kresek.
KH. Abdul Majid adalah sosok yang tidak
pernah membeda-bedakan orang dari kalangan mana dan anak siapa yang penting ia
mengikuti. Sehingga, banyak dari kalangan jawara juga menimba ilmu kepadaya, di
antaranya adalah Jaro Karis, Jaro Kasan, dan lain
sebagainya.
Namun dikarenakan banyak sekali orang
yang berkunjung kepadanya untuk meminta syari’at, akhirnya ia memutuskan untuk
menekuni ilmu hikmah. Ilmu hikmah ia tekuni dengan penuh keikhlasan hingga ia
wafat. Banyak orang yang berkunjung kepadanya, baik dari kalangan masyarakat
biasa, hingga para pejabat, seperti Tri Sutrisno (Wakil Presiden), dan lain
sebagainya.
Madrasah Sholatiyah Kepandean
Madrasah Sholatiyah Kepandean
Madrasah Sholatiyah Kepandean didirikan
secara gotong royong. Segenap masyarakat 11 RT atau sering
disebut dengan istilah 11 Angkatan dari sekitar Desa Sindangsari, ikut
bersama-sama dalam proses pembangunan madrasah tersebut. Menurut narasumber
bahwa gotong royong itu dilakukan setiap minggu, hari ini diambil dikarenakan ada
usulan bahwa para guru yang mengajar di madrasah itu, ingin ikut membantu dalam
proses pembangunan. Sekitar ratusan warga terlibat dalam gotong royong
tersebut, hal ini dibuktikan dengan cerita dari narasumber bahwa batu
yang digunakan adalah dari kali Ci Asem, dibawa ke madrasah secara estafet,
karena banyaknya orang.
Di antara orang yang terlibat dalam
proses gotong royong itu, di antaranya adalah H. Ali, Ustad Iyad, dan Ustad
Balya dari Kapandean, Ustad Ahmad dari Astanaraya, beserta masyarakat lainnya.
Tanah yang digunakan untuk mendirikan
madrasah ini merupakan tanah wakaf dari KH. Abul Majid. Begitu juga dana yang
digunakan untuk pembangunan madrasah ini didominasi oleh harta pribadinya,
disamping donasi dari masyarakat sekitar. Menurut narasumber bahwa setiap melaksanakan
gotong royong, KH. Abdul Majid menyumbangkan satu ekor kambing untuk menjamu
para pekerja. Hampir ratusan kambing yang disumbangnya. Hal ini dibuktikan
karena lamanya proses pembangunan madrasah ini. Dan terakhir pembangunan
ia menyumbangkan seekor kerbau.[3]
Selanjutnya, untuk mendanai madrasah ini
ia mengusulkan kepada masyarakat sekitar untuk membuat empang, yang memiliki
ukuran lebar 40 m2 dan panjang 90 m2, yang hasilnya diperuntukkan untuk madrasah,
seperti biaya perawatan madrasah dan honor para guru. Sama halnya dengan
empang, KH. Abdul Majid juga mewakafkan kebun kelapa, yang hasilnya
diperuntukkan untuk madrasah. Namun, setelah berjalan 1 tahun empang itu tidak
produktif lagi, karena tersendat air, kemudian dilakukan musyawarah kembali,
maka empang tersebut dijadikan sawah untuk menambah penghasilan madrasah.
Ia berpesan kepada masyarakat bahwa kini
masih banyak yang mendonasikan harta, belum tahu esok nanti akan seperti saat
ini dan jangan merasa bosan dalam semua urusan. Pesan ini dikhususkan untuk
memotivasi masyarakat dalam membangun beberapa fasilitas pendukung madrasah,
umumnya untuk kehidupan masyarakat.
Ada hal yang unik, yang sampai saat ini
masih ada. Yaitu, gambar telapak tangan, centong, sendok, dan
garfu yang dibuat oleh salah seorang warga bernama Jata di gonggo dekat
empang berada. Hal ini ia lakukan semata untuk bukti dan kenang-kenangan para
cucu yang akan hidup nanti, bahwa orang tua pernah menumpahkan keringat dan
jerih payahnya untuk pembangunan madrasah yang kelak menjadi tempat menuntut
ilmu para cucunya.
Masjid Uswatun Hasanah
Masjid Uswatun Hasanah
Masjid Uswatun Hasanah berdiri pada
1984. Melalui proses pembangunan yang cukup panjang, dimulai pada 1971. Diawali
dengan meratakan tanah sawah yang dalamnya sekitar 1 ½ meter dan pengumpulan
bahan-bahan bangunan, seperti kayu, bata, batu dan lain sebagainya. Menurut
penuturan narasumber bahwa kayu-kayu yang digunakan berasal dari berbagai
daerah, misalnya kayu Laban berasal dari Gajrug-Rangkas, kayu Jati dari
Malingping dibawa oleh bapak Entik yang berasal dari Kubang-Petir,
kayu Marebo, kayu Rambutan dan kayu-kayu lainnya yang sudah benar-benar kuat
kualitasnya, hingga proses ini memakan waktu hingga 10 tahun.[4]
Pada 1981, setelah tanah untuk bangunan
diratakan dan bahan-bahan bangunan terkumpul, proses pembangunan dimulai, dari
mulai membuat podasi bangunan masjid, toilet, dan sumur hingga selesai. Ada hal
yang aneh ketika pembuatan sumur yang berdiameter 4 m2 ini, di tengah proses
pembangunan sumur ini ditemukan air wasiat yang berada di bagian dalam sisi
sumur ukurannya sekitar 4 m2 dan 12 m2 dalamnya. Air ini masyhur disebut Cai
Wasiat oleh masyarakat sekitar, karena dengan syari’at air ini orang-orang yang
mengalami beberapa penyakit dapat sembuh ketika meminum air ini. Sehingga pada
saat itu, setiap warga masyarakat sekitar menyimpan air ini di masing-masing
rumahnya. Bahkan, air ini sampai dijual belikan ke luar daerah Banten yang uang
hasil penjualan itu digunakan untuk menambah proses pembangunan sumur ini.
Menurut penuturan narasumber bahwa Cai Wasiat ini sudah tidak ada setelah sumur
ini tidak mampu menampung air. Hingga saat ini sumur ini masih digunakan untuk
keperluan ibadah di masjid dan keperluan masyarakat di sekitar Desa
Sindangsari, namun tidak pernah mengalami kekeringan walaupun sedang musim
kemarau. Proses pembangunan masjid, kobak, tempat wudhu, dan sumur ini memakan
waktu 3 tahun, yaitu hingga 1984.
Setelah selesai, maka KH. Abdul Majid
mengimbau masyarakat sekitar untuk bersama-sama meresmikan masjid ini dengan
nama Masjid Uswatun Hasanah, dengan maksud agar masyarakat sekitar yang sudah
bekerja keras dalam membangun masjid ini menjadi panutan bagi masyarakat pada
umumnya atas kekompakan dan kesungguhannya.
Menurut narasumber bahwa pembangunan
masjid ini sebetulnya belum selesai secara keseluruhan, karena KH. Abdul Majid
masih mempunyai keinginan untuk mendirikan pendopo dan menara.
Keinginan itu didasari karena setiap
Selasa malam KH. Abdul Majid mengadakan pengajian mingguan dengan masyarakat
yang dilaksanakan pada Selasa malam. Dan masyarakat yang hadir berjumlah
ratusan, sementara tempat yang digunakan saat itu mushola tidak mampu menampung
jemaah pengajian. Maka dari itu, pendopo yang menjadi keinginannya akan
dipergunakan untuk melaksanakan pengajian bersama masyarakat sekitar.
Namun karena beberapa hal, pembangunan
pendopo dan menara itu diurungkan hingga KH. Abdul Majid meninggal setelah
Masjid Uswatun Hasanah itu berdiri.
Kelebihan Supranatural
Kelebihan Supranatural
KH. Abdul Majid adalah sosok ulama yang
terkenal dengan ilmu hikmah. Di antara beberapa kelebihah yang diceritakan oleh
beberapa narasumber adalah, bahwa ia terkenal dengan sebutan bengkel
manusia. Karena, memiliki ilmu pancasona, membelah perut, mengeluarkan
tumor hanya dengan jari tangan, kemudian dirapatkan lagi tanpa menggunakan
alat medis, dan lain sebagainya.[5]
Walaupun banyak sekali hal-hal yang di
luar kebiasaan manusia biasa yang dimilikinya, namun ia tidak mencari
popularitas. Dapat melaksanakan kehidupan dengan ikhlas adalah di antara hal
melatarbelakanginya.
Wallahua'lam.
Tulisan ini sudah dimuat dalam
Ensiklopedia Pemuka Agama Nusantara Jilid 1 halaman 220, Abdul
Majid, oleh Kemenag Pusat Penelitian dan Pengembangan Lektur dan Khazanah
Keagamaan, Badan Litbang dan Diklat Kemenag.
[1] Wawancara dengan Sidiq (80), pada 03, November 2015,
di rumahnya.
[2] Wawancara dengan Ahmad Fauzi Al-majid (w.2017), pada
Jum’at, 30 Oktober 2015, di rumah peninggalan KH. Abdul Majid.
[3] Wawancara dengan Aksani, di rumahnya, pada Senin, 5
November 2015.
[4] Wawancara dengan Ali Kasan (80) di rumahnya, pada
Sabtu, 31 Oktober 2015, pukul 10.15.
[5] Wawancara dengan Iyol, (50), pada Minggu, o1 November
2015, di rumahnya.
Komentar
Posting Komentar