Langsung ke konten utama

Tradisi Baca Barzanji dalam Walimah Perkawinan Etnis Bugis

Pembacaan Kitab Barzanji dalam Walimah Perkawinan Etnis Bugis. (Dok. Pribadi).

Barzanji atau masyarakat etnis Bugis, di Kampung Baru Bugis, Kelurahan Banten, Kecamatan Kasemen, Kota Serang, Banten menyebutnya berasanji, ialah kitab yang berisi shalawat dan kisah Nabi Muhammad SAW. 

Dalam masyarakat etnis Bugis, teks barzanji ini dibaca secara bergantian dengan menggunakan bahasa Bugis atau kadangkala menggunakan bahasa Arab. Di mana, masyarakat yang hadir duduk bersila membentuk lingkaran, di tengahnya di simpan aneka macam olahan makanan khas Bugis.

Pembacaan barzanji ini sudah dilakukan sejak zaman para nenek moyang atau leluhurnya, sehingga harus tetap dilaksanakan. Untuk mengawalinya, pemimpin atau ustadz membaca surat al-Fatihah secara bersama-sama, kemudian dilanjutkan membaca barzanji sebanyak 14 pasal secara bergantian dengan suara lantang. Jemaah yang hadir dalam acara ini hanya dari kalangan laki-laki saja, baik bapak-bapak maupun para pemuda.

Mengenai pembacaan barzanji dalam tradisi tudang peni, K.H. Abdurrahman memberikan keterangan sebagai berikut : 

Tudang artinya duduk dan peni berarti malam. Jadi sebelum besok acara pelaksanaan akad perkawinan diadakan ritual baca kitab barzanji. Di dalamnya menceritakan soal sejarah dan bacaan shalawat Nabi Muhammad SAW. 

Pelaksanaannya, pemimpin mengawali dengan membaca al-Fatihah tanpa ada hadorot terlebih dulu kemudian membaca kitab barzanji. Usai membaca pasal 1, tepatnya pada kalimat yatalalau sanah jemaah yang semuanya laki-laki berdiri dan melantunkan marhaba dengan suara lantang. Lalu, pemimpin pembacaan barzanji mempersilakan tokoh masyarakat lain untuk melanjutkan bacaan sampai 14 pasal. 

Ritual ini sudah dilakukan sejak dulu, sehingga barzanji sangat kental di kalangan masyarakat Bugis dan harus dilaksanakan fungsinya untuk bershalawat kepada Nabi Muhammad SAW dan berdoa kepada Allah SWT.[1]

Pembacaan kitab karangan Syekh Ja’far al-Barzanji ini, memakan waktu sampai 1 jam yang bertujuan untuk mendapat keselamatan. 

[1] K.H. Abdurrahman, (54), Tokoh Masyarakat, di Kampung Baru Bugis. Wawancara dengan penulis di rumahnya pada (24/08/2017).



Komentar

Postingan populer dari blog ini

Biografi Singkat KH. Abdul Majid

KH.   Abdul Majid  bin H. Tohir Jaim adalah salah satu pemuka agama yang lahir di Kampung Sindangsari, Desa Sindangsari, Kecamatana Petir, Kabupaten Serang, Provinsi Banten.   Dari hasil perkawinannya dengan Hj. Suha yang berasal dari Kampung Kapandenan, Kecamatan Petir, Kabupaten Serang, Provinsi Banten, mereka dikaruniai tiga orang putra. Yaitu, Abdul Hakim, Ghaosul Alam, dan Emon Mudhofar. Ketiga putranya ini, selain menjadi ahli hikmat juga merupakan penerus Yayasan Sholatiyah Kapandean yang didirikan dan dipimpin oleh  KH. Abdul Majid. Setelah Hj. Suha meninggal dunia. Kemudian KH Abdul Majid menikah dengan Hj. Yuhananah yang lahir pada 1930. Mereka dikarunia enam orang putra dan putri. Yaitu, Uyun Qurotul Uyun, Ujeh, Nurul Hidayah, Tajul Fukoha, Ahmad Fauzi, dan Qurotul Mua’yanah sebagai anak terakhir. Kedua putri dan putranya telah wafat, yaitu Uyun Qurotul Uyun dan Ujeh meninggal. Dari ke-6 putra-putrinya ini, Ahmad Fauzi Al-Majid (w.2007) yang meneruskan kepemimpina

Sehari Puasa Ramadan di Baduy

Berpose dengan Ayah Mursyid di rumah Jaro Saija.  Selama di Bantenologi, beberapa kali aku diberikan kesempatan untuk membantu pengumpulan data tentang masyarakat adat dan kasepuhan di Banten. Di antaranya penelitian di Baduy (2015), Ciptagelar (2016), Cicarucub (2017), Cisungsang (2017), dan baru-baru ini di Guradog (2018). Semua daerah itu aku kunjungi bersama pengurus dan relawan Bantenologi reratanya tiga-empat hari, kecuali Baduy yang aku kunjungi sendiri sebagai utusan dari Laboratorium Bantenologi. Kesempatan mengumpulkan data di Baduy itu menjadi pengalaman berharga bagiku karena bertepatan dengan bulan Ramadan 1438 H/ Mei 2017 M. Adapun objek yang aku teliti yaitu tentang Hak Ulayat Tanah Adat Baduy yang menganut kepercayaan Sunda Wiwitan. Kabar penugasan penelitiannya cukup mendadak sekali. Laboratorium Bantenologi memercayakan penggalian data itu kepadaku sehari sebelum keberangkatan. Tak banyak kata, aku langsung menyetujui tawaran itu, padahal dalam hati