"Berhubung nenek nggak
punya, jadi nyari uang aja buat kebeli beras seliter dua liter,” jawabnya
diiringi tawa lirih saat diwawancara baru-baru ini.
Nenek yang biasa dipanggil Engkus ini, setiap pukul 09. 00 sudah keluar dari rumah sederhana peninggalan suaminya di Kampung Cipacung menuju Kawasan Wisata Karang Bolong-Anyer. Karena jaraknya yang lumayan jauh, sehingga ia harus mengeluarkan uang Rp10 ribu untuk membayar ojeg.
Nenek yang biasa dipanggil Engkus ini, setiap pukul 09. 00 sudah keluar dari rumah sederhana peninggalan suaminya di Kampung Cipacung menuju Kawasan Wisata Karang Bolong-Anyer. Karena jaraknya yang lumayan jauh, sehingga ia harus mengeluarkan uang Rp10 ribu untuk membayar ojeg.
Barang dagangan yang ia
jual adalah milik orang sekitar Kawasan Wisata Karang Bolong, ia hanya
mengambil keuntungan sedikit dari setiap barang dagangan itu. “Pengen cukup
sesuap nasi setiap hari doang, De..,” sambung nenek. Tidak hanya itu, ia juga
harus membayar uang sewa lahan yang dibayarkan setiap satu tahun sekali. “Nenek
harus bayar, De, satu tahun Rp500 ribu, kalo lebaran baru dikasih,” jelasnya.
Sejak
suaminya meninggal 4 tahun silam, karena penyakit struk yang dideritanya. Kini
nenek berusia 70 tahun ini harus lebih keras lagi dalam mencari nafkah guna
memenuhi kebutuhannya sehari-hari seorang diri dengan berjualan kopi, makanan
ringan, dan sewa tiker milik orang lain. Di saat usianya sudah lanjut,
seharusnya ia istirahat cukup, namun waktu istirahatnya selalu ia gunakan untuk
berjualan. Siang bahkan malam selalu ia lakukan demi mencari sesuap nasi.
“Kalo
lebaran, ibu disini satu minggu, De, mau ditinggal takut ada yang nyolong
barangnya, kan punya orang, akhirnya terpaksa Ibu nginep, sudah seminggu baru pulang. Atau saat tahun baru kan rame, malemnya ibu begadang di sini untuk
nyari beras seliter, De, abis nyari kerja yang lain nggak bisa,” lanjut ia dengan
nada pelan.
Kulitnya yang sudah keriput, giginya pun sudah tidak
selengkap dulu, tatap matanya sudah tidak setajam dulu begitupun fisiknya yang
terus didera penyakit seperti pada umumnya orang lansia. Namun hal itu tidak
membuatnya patah semangat untuk berjuang hidup dan melakukan kebaikan. Kebaikan
kecil yang dia lakukan adalah dengan keramahan yang selalu ia tampilkan kepada
setiap orang baik yang dikenal maupun tidak.
“De, duduknya di saung tuh, udah ada
tikernya, kopi di sini ada, De..," Ibu Engkus menyambut pengunjung dengan ramah.
Lalu siapakah sebenarnya
Ibu Engkus itu?
Kusnadah
adalah nama yang diberikan oleh kakeknya saat ia lahir di tanah Lampung, tepatnya di kaki Gunung Kukus. Setiap hari gunung tersebut mengeluarkan asap hingga
mengepul ke langit, rupanya aktivitas gunung itu memberi inspirasi kepada
kakeknya untuk memberi nama cucunya itu, hingga
ia diberi nama Kusnadah.
Saat
kecil, Engkus sempat mengalami pendidikan tingkat dasar, namun sayang sebelum ia
menamatkan sekolah, ia lebih dahulu menikah tepat saat usianya 15 tahun.
Kemudian ia hidup dengan suami penuh dengan keterbatasan di Kampung
Cipacung-Anyer, suaminya bekerja sebagai tukang ojeg. Ia sendiri ikut membantu
suaminya dengan berjualan di pinggir Pantai Karang Bolong Anyer-Serang. Dari
hasil pernikahannya mereka dikaruniai 2 orang putra, 3 orang putri dan 13 cucu.
Kini anak-anaknya sudah menikah semua dan tinggal jauh darinya.
Apa pesan yang dapat Anda ambil dari tulisan di atas?
Komentar
Posting Komentar