Langsung ke konten utama

Meneliti Biografi Sekaligus Silaturahmi dengan Anak Kiyai

KH. Abdul Majid, dari Petir-Serang, saat foto bersama rekannya. (Dok.Pribadi).
Sejak menjadi relawan Laboratorium Bantenologi pada 2015 silam, ada banyak hal yang dapat saya peroleh, mulai dari motivasi belajar, wawasan sejarah dan kebudayaan, pengetahuan riset dan praktik lapangan, menuliskan hasil penelitian lapangan, sampai pada rasa kekeluargaan yang amat hangat. Semua hal itu, memacu saya untuk bisa membuat karya tulis ilmiah, ya walau kala itu hanya sekadar meneliti biografi ulama dan bangunan kuno.
Waktu itu, saya duduk di semester lima, di mana sepulang kuliah berinisiatif untuk melakukan penelitian lapangan sendiri, mulai dari melacak, menyusuri, mewawancara secara mendalam, sampai pada proses penulisan hasil penelitian itu. Inisiatif itu saya lakukan hampir dalam kurun waktu satu bulan, hingga terkumpullah tiga biografi singkat tokoh agama atau ulama di daerah Banten, yaitu KH. Abdul Majid Petir, Serang, KH. Ahmad Sayuti, Karangtanjung, Pandeglang, dan KH. Muhammad Halimi, Ciherang, Pandeglang.
Sendiri? Ya, penelitian itu saya lakukan semata kehendak diri sendiri, niat itu muncul setelah saya membaca buku biografi ulama Banten, karya pengurus dan relawan Laboratorium Bantenologi. Namanya sendiri, jadi musti berkorban segala hal, tanpa terbersit akan ada upeti yang akan didapat, pokoknya kehendak kala itu hanya ingin belajar meneliti dan bersilaturahmi dengan anak cucu kiyai. Sehingga, cara yang dilakukan untuk bisa berjalan adalah dengan mengurangi hasrat untuk jajan saat kuliah. Tapi, itu membuat saya puas, karena dengan meneliti biografi tokoh agama, saya bisa bercengkrama dengan hangat bersama anak cucu kiyai kadang sampai larut malam. Ya, tentu ini menjadi pengalaman yang berharga. Walaupun ada saja, yang menolak untuk diwawancara mengenai biografi, karena ia sudah menerima pesan dari mendiang kiyai yang dimaksud. Lagi-lagi, tidak menjadi halangan, toh kala itu dalam rangka silaturahmi, kan?
Setiap saya bertemu dan mengutarakan maksud kedatangan, saya selalu menyelipkan kata bahwa hasil tulisan akan dicetak menjadi buku atau kumpulan para biografi ulama. Padahal, perkataan itu tidak dibarengi dengan peluang, hanya bermodal keyakinan. Alhamdulillah, itu membuat narasumber mau untuk memberikan informasi dan data yang ada. Walau demikian, saya pun akan bertanggungjawab atas segala konsekuensi.
Lalu, setelah rampung ditulis, data tersebut saya serahkan kepada Dr. Ayatullah Humaeni, MA, salah satu pengurus Lab. Bantenologi untuk meminta koreksi.
Akhirnya, 2015 akan segera berakhir, seperti biasanya Laboratorium Bantenologi akan membuat Bulletin tahunan. Kemudian, para pengurus Laboratorium Bantenologi memutuskan untuk menuliskan dua profil relawan kala itu. Tanpa disangka, kehadiran saya di sana membuat pengurus Laboratorium Bantenologi tertarik untuk memilih saya. Kontan, dalam wawancara waktu itu yang dilakukan oleh Ade Jaya Suryani, MA, ia bertanya soal kegiatan yang saya lakukan sepulang kuliah dan cita-cita. Pertanyaan itu, tentu mendorong saya untuk mengutarakan apa yang saya alami kala meneliti biografi ulama seperti di atas. Setelah itu, terbitlah Bulletin Laboratorium Bantenologi, di mana satu halaman memuat profil saya. Rasanya sesuatu, bukan apa-apa, saya masih terpikirkan bahwa saya berjanji kepada pada anak kiyai untuk mencetak hasil penelitian itu.
***
Waktu terus berjalan, semester semakin tua, janji itu belum terwujud, saya juga belum berani untuk berkunjung kembali ke rumah mendiang para kiyai. Dan pada awal 2016, Dr. Ayatullah Humaeni, MA, memberi kabar baik pada saya, bahwa Provinsi Banten sedang ada program membuat ensiklopedia kumpulan biografi ulama, ia pun menyarankan saya untuk mengirimkan naskah biografi yang sudah saya tulis kala itu, karena selain tulisan itu akan dimuat, juga akan ada profit yang saya dapatkan. Ya, pikirku mungkin ini jawaban dari uang jajan yang aku sisihkan dulu. Namun demikian, setelah beberapa bulan, pihak provinsi belum saja memberi kabar. Kemudian, Dr. Ayatullah Humaeni, MA, memberi kabar bahwa soal pengiriman naskah penelitian bigorafi itu gagal. Ia berkata bahwa pihak provinsi menolak, karena saat mengirim naskah sudah melampaui batas waktu. Ya, ya, ya!
***
Lalu, di awal 2017, Dr. Ayatullah Humaeni, MA, berkunjung ke Litbang pusat untuk mengurus izin penelitiannya ke daerah Lombok bersama rekan relawan. Sepulang dari sana, ia diberikan buku cetakan Litbang, di antaranya buku berjudul Pemuka Agama Nusantara sebanyak tujuh jilid.
Melihat buku baru, saya dan relawan yang lain langsung menyerbu, membaca dan mendiskusikannya. Mengulas beberapa hal pada tulisan dalam buku-buku tesebut. Dalam buku berjudul Pemuka Agama Nusantara itu, terapat nama Andri Firmansyah dalam daftar kontributor. Namun demikian, kami semua tidak berpikir sama sekali bahwa nama yang dimasud adalah saya. Kenapa? Karena, kabar terakhir upaya yang saya lakukan untuk dapat menyetak tulisan itu menjadi buku, gagal. Ya, diskusi pun berjalan dengan asyik. Di antara relawan, sempat menuliskan semua ulama yang berasal dari Banten dalam buku itu. Alhasil, setelah dicek, ternyata tulisan yang saya buat dan kirimkan ke pihak Provinsi Banten pun dimuat dalam buku itu. Tidak hanya saya, karya para pengurus pun termaktub di dalamnya.
Tapi, mereka tampak kecewa melihat hal itu, tidak seperti apa yang saya rasakan. Kenapa? Karena dalam buku itu, karya mereka dipalsukan oleh pihak yang tidak bertanggungjawan dengan tidak menyantumkan biodata mereka. Ya, tentu dalam lingkungan akademik, hal tersebut merupakan pelanggaran. Jangankan memberikan profit dari karya itu, tetapi lebih parah lagi melanggar hak cipta. Sebetulnya, saya pun merasakan hal demikian, tapi hanya sebatas satu sisi saja, apa? Benar sekali, saya tidak mendapatkan pfofit. Tidak dengan hak cipta, karena dalam tulisan itu mencantumkan nama saya dalam daftar distributor dan biodata pada akhir tulisan.
Dari tujuh jilid yang ada, karya saya termuat ditiga jilid, yaitu di jilid 1 halaman 220, KH. Abdul Majid, pada jilid 2 halaman 732, KH. Ahmad Sayuti, dan terakhir dalam jilid 5 halaman 2273, memuat KH. Muhammad Halimi.
Alhamdulillah, niat saya dalam menorehkan sejarah lisan menjadi tulisan sudah terwujud, ya walaupun hanya secuil. Lebih dari itu, janji saya kepada anak-anak kiyai sudah terpenuhi, dalam waktu dekat saya akan berkunjung ke rumah mereka untuk silatuahmi dan memberi kabar baik ini. Terima kasih.
Akhirnya, ada beberapa pesan yang saya dapat setelah melalui proses yang cukup panjang itu, di antaranya tulislah semua peristiwa yang terjadi dalam hidup, terutama hal yang dapat memberikan motivasi dan inspirasi bagi sesama. Lalu, dalam berkarya, jangan berharap materi terlebih dahulu. Namun, berharaplah agar karyamu dapat bermanfaat untuk banyak orang. Kemudian, Jika sudah mendapat teori ilmu, maka segeralah praktikkan agar sempurna dan berdaya guna. Terakhir, hati-hati dalam mengirimkan karya, jangan sampai jatuh pada tangan jahil yang tidak bertanggungjawab, karena karya itu akan disalahgunakan. Apa pesan Anda? 

Komentar

  1. Saya cicit nya kh tubagus abdul majid bin thohir

    BalasHapus
    Balasan
    1. Terima kasih sudah berkunjung, salam untuk keluarga besar. Mohon maaf tulisan saya belum lengkap, semoga keluarga dapat membantu melengkapi.

      Hapus

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

Tradisi Baca Barzanji dalam Walimah Perkawinan Etnis Bugis

Pembacaan Kitab Barzanji dalam Walimah Perkawinan Etnis Bugis. (Dok. Pribadi). Barzanji atau masyarakat etnis Bugis, di Kampung Baru Bugis, Kelurahan Banten, Kecamatan Kasemen, Kota Serang, Banten menyebutnya berasanji , ialah kitab yang berisi shalawat dan kisah Nabi Muhammad SAW.  Dalam masyarakat etnis Bugis, teks barzanji ini dibaca secara bergantian dengan menggunakan bahasa Bugis atau kadangkala menggunakan bahasa Arab. Di mana, masyarakat yang hadir duduk bersila membentuk lingkaran, di tengahnya di simpan aneka macam olahan makanan khas Bugis. Pembacaan barzanji ini sudah dilakukan sejak zaman para nenek moyang atau leluhurnya, sehingga harus tetap dilaksanakan. Untuk mengawalinya, pemimpin atau ustadz membaca surat al-Fatihah secara bersama-sama, kemudian dilanjutkan membaca barzanji sebanyak 14 pasal secara bergantian dengan suara lantang. Jemaah yang hadir dalam acara ini hanya dari kalangan laki-laki saja, baik bapak-bapak maupun para pemuda. Mengenai pemba

Biografi Singkat KH. Abdul Majid

KH.   Abdul Majid  bin H. Tohir Jaim adalah salah satu pemuka agama yang lahir di Kampung Sindangsari, Desa Sindangsari, Kecamatana Petir, Kabupaten Serang, Provinsi Banten.   Dari hasil perkawinannya dengan Hj. Suha yang berasal dari Kampung Kapandenan, Kecamatan Petir, Kabupaten Serang, Provinsi Banten, mereka dikaruniai tiga orang putra. Yaitu, Abdul Hakim, Ghaosul Alam, dan Emon Mudhofar. Ketiga putranya ini, selain menjadi ahli hikmat juga merupakan penerus Yayasan Sholatiyah Kapandean yang didirikan dan dipimpin oleh  KH. Abdul Majid. Setelah Hj. Suha meninggal dunia. Kemudian KH Abdul Majid menikah dengan Hj. Yuhananah yang lahir pada 1930. Mereka dikarunia enam orang putra dan putri. Yaitu, Uyun Qurotul Uyun, Ujeh, Nurul Hidayah, Tajul Fukoha, Ahmad Fauzi, dan Qurotul Mua’yanah sebagai anak terakhir. Kedua putri dan putranya telah wafat, yaitu Uyun Qurotul Uyun dan Ujeh meninggal. Dari ke-6 putra-putrinya ini, Ahmad Fauzi Al-Majid (w.2007) yang meneruskan kepemimpina

Sehari Puasa Ramadan di Baduy

Berpose dengan Ayah Mursyid di rumah Jaro Saija.  Selama di Bantenologi, beberapa kali aku diberikan kesempatan untuk membantu pengumpulan data tentang masyarakat adat dan kasepuhan di Banten. Di antaranya penelitian di Baduy (2015), Ciptagelar (2016), Cicarucub (2017), Cisungsang (2017), dan baru-baru ini di Guradog (2018). Semua daerah itu aku kunjungi bersama pengurus dan relawan Bantenologi reratanya tiga-empat hari, kecuali Baduy yang aku kunjungi sendiri sebagai utusan dari Laboratorium Bantenologi. Kesempatan mengumpulkan data di Baduy itu menjadi pengalaman berharga bagiku karena bertepatan dengan bulan Ramadan 1438 H/ Mei 2017 M. Adapun objek yang aku teliti yaitu tentang Hak Ulayat Tanah Adat Baduy yang menganut kepercayaan Sunda Wiwitan. Kabar penugasan penelitiannya cukup mendadak sekali. Laboratorium Bantenologi memercayakan penggalian data itu kepadaku sehari sebelum keberangkatan. Tak banyak kata, aku langsung menyetujui tawaran itu, padahal dalam hati