Berpose dengan Ayah Mursyid di rumah Jaro Saija. Selama di Bantenologi, beberapa kali aku diberikan kesempatan untuk membantu pengumpulan data tentang masyarakat adat dan kasepuhan di Banten. Di antaranya penelitian di Baduy (2015), Ciptagelar (2016), Cicarucub (2017), Cisungsang (2017), dan baru-baru ini di Guradog (2018). Semua daerah itu aku kunjungi bersama pengurus dan relawan Bantenologi reratanya tiga-empat hari, kecuali Baduy yang aku kunjungi sendiri sebagai utusan dari Laboratorium Bantenologi. Kesempatan mengumpulkan data di Baduy itu menjadi pengalaman berharga bagiku karena bertepatan dengan bulan Ramadan 1438 H/ Mei 2017 M. Adapun objek yang aku teliti yaitu tentang Hak Ulayat Tanah Adat Baduy yang menganut kepercayaan Sunda Wiwitan. Kabar penugasan penelitiannya cukup mendadak sekali. Laboratorium Bantenologi memercayakan penggalian data itu kepadaku sehari sebelum keberangkatan. Tak banyak kata, aku langsung menyetujui tawaran itu, padahal dalam hati
Pembacaan Kitab Barzanji dalam Walimah Perkawinan Etnis Bugis. (Dok. Pribadi). Barzanji atau masyarakat etnis Bugis, di Kampung Baru Bugis, Kelurahan Banten, Kecamatan Kasemen, Kota Serang, Banten menyebutnya berasanji , ialah kitab yang berisi shalawat dan kisah Nabi Muhammad SAW. Dalam masyarakat etnis Bugis, teks barzanji ini dibaca secara bergantian dengan menggunakan bahasa Bugis atau kadangkala menggunakan bahasa Arab. Di mana, masyarakat yang hadir duduk bersila membentuk lingkaran, di tengahnya di simpan aneka macam olahan makanan khas Bugis. Pembacaan barzanji ini sudah dilakukan sejak zaman para nenek moyang atau leluhurnya, sehingga harus tetap dilaksanakan. Untuk mengawalinya, pemimpin atau ustadz membaca surat al-Fatihah secara bersama-sama, kemudian dilanjutkan membaca barzanji sebanyak 14 pasal secara bergantian dengan suara lantang. Jemaah yang hadir dalam acara ini hanya dari kalangan laki-laki saja, baik bapak-bapak maupun para pemuda. Mengenai pemba